Menanam Rumput, Memanen Antibiotik

grass

Pada akar rumput yang tersebar di bumi Indonesia ternyata terdapat jutaan mikroba penghasil antibiotik. Umumnya orang sengaja menanam rumput untuk dua tujuan. Pertama, sebagai tanaman penutup agar tanah tidak gundul, lebih indah, dan terhindar dari erosi. Kedua, sebagai bahan utama pakan ternak.

Ternyata di samping kedua umum itu, sebenarnya masih masyarakat. Salah satu manfaat belum diketahui itu adalah kemampuan penghasil antibiotik yang banyak tersebar di alam. Bagaimana cara rumput “menangkap” mikroorganisme  tersebut?

Jawabannya bisa dimulai dengan sedikit mengenal antibiotik terlebih dahulu. Zahner dan Mass (1972) mendefinisikan antibiotik sebagai substansi yang dihasilkan oleh organisme hidup yang dalam konsentrasi rendah dapat menghambat atau membunuh organisme lainnya.

Antibiotik mempunyai nilai ekonomi tinggi terutama di bidang kesehatan karena kegunaannya dalam mengobati berbagai penyakit infeksi. Selain memiliki arti penting di bidang kesehatan manusia, antibiotik juga digunakan di bidang kedokteran hewan untuk mengobati penyakit infeksi dan untuk meningkatkan pertumbuhan hewan ternak. Antibiotik diaplikasikan juga dalam bidang pertanian untuk meningkatkan hasil-hasil pertanian.

Antibiotik dapat dihasilkan oleh alga, lichen, tumbuhan tingkat tinggi, hewan tingkat rendah, vertebrata, dan mikroorganisme. Saat ini sumber yang tengah gencar dikembangkan karena banyak menghasilkan antibiotik adalah yang berasal dari mikroorganisme, yaitu bakteri dari kelas Actinomycetes.

Banyak bakteri dari kelas Actinomycetes mempunyai kemampuan dalam menghasilkan antibiotik. Streptomyces, misalnya, merupakan genus bakteri dari kelas ini yang terbukti mampu menghasilkan bermacam-macam antibiotik. Pada akhir 1972 saja, bakteri dari genus Streptomyces ini telah menghasilkan 2.078 jenis antibiotik (Betina, 1983).

Antibiotik yang dihasilkan oleh Actinomycetes secara garis besar terbagi menjadi tiga golongan.

  • Pertama, golongan aminoglikosida. Golongan ini dinamakan aminoglikosida karena strukturnya mengandung amino dan glikosida. Paling sedikit golongan ini mempunyai satu aminoheksosa dan mempunyai pentosa pada gugus aminonya. Aminoglikosida bekerja secara langsung pada ribosom bakteri dan akan menghambat sintesa protein sehingga mengganggu translasi pesan genetik bakteri tersebut. Contoh-contoh antibiotik pada golongan ini adalah streptomisin, neomisin, peromomisin, kanamisin, gentamisin, dan tobramisin.
  • Kedua, golongan makrolida. Struktur golongan ini terdiri atas cincin lakton yang besar dinamakan makrolid, gugus keton, dan glikosida. Cara kerja golongan makrolid di atas antara lain dengan menghambat sintesis protein. Contoh-contoh antibiotik pada golongan ini antara lain pikromisin, eritromisin, karbomisin, oleandomisin, spiramisin, josamisin, dan tilosin.
  • Ketiga, golongan obat antitumor. Beberapa obat bioaktif yang dihasilkan oleh Actinomycetes dapat digunakan untuk kemoterapi kanker. Obat ini umumnya bersifat sitotoksik dengan mengganggu fungsi DNA (contoh: actinomycin D dan anthracyclines) atau cross linking agents (mitomycin C), menyebabkan pecahnya ikatan rantai DNA (bleomycin, streptonigrin), atau interaksi dengan DNA (mithramycin, chromomycin, olivomycin) (Salas dan Mendez, 1998).

Sekalipun telah banyak menghasilkan antibiotik, eksplorasi terhadap Actinomycetes terutama pada genus Streptomyces untuk mencari spesies-spesies Streptomyces baru guna memperoleh antibiotik baru tetap dilakukan dan ternyata memang tetap menghasilkan. Eksplorasi untuk menemukan jenis antibiotik baru terus dilakukan karena ada faktor resistensi kuman terhadap antibiotik yang telah ada.

Lebih dari 90 persen antibiotik yang dihasilkan dari berbagai spesies Streptomyces digunakan untuk terapi penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Tetapi, karena adanya resistensi kuman yang timbul akibat adanya mutan-mutan baru, maka sering mengakibatkan antibiotik tidak bisa digunakan sesuai dosis anjurannya. Antibiotik tidak efektif lagi dalam dosis anjurannya.

Kalau dipaksakan untuk tetap digunakan, dosis yang digunakan harus lebih tinggi. Namun, apabila hal ini dilakukan, dapat mengakibatkan efek samping yang tidak dikehendaki seperti nyeri perut, demam, pembengkakan hati, berkurangnya sekresi ginjal, dan lain-lain.

Dengan demikian, perlu senantiasa dicari galur antimikroba baru yang menghasilkan antibiotik dengan potensi lebih tinggi dalam membunuh kuman penyebab penyakit.

Yang menarik dalam penelitian pencarian antibiotik adalah penemuan Walksman pada tahun 1950 bahwa Actinomycetes banyak ditemukan di tanah berumput. Dengan demikian, dengan menanam rumput, manusia dapat sekaligus memanen antibiotik. Populasi Actinomycetes pada tanah rizosfir (sekitar perakaran) rumput mendekati 40 persen dari total mikroflora tanah.

Seperti  juga tumbuhan lainnya, akar rumput mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan eksudat (cairan sel yang keluar ke sekitar akar). Hasil eksudasi akar kemudian menyebar ke tanah rizosfir rumput. Hasil eksudasi merupakan sumber kehidupan bagi mikroflora tanah, termasuk di dalamnya mikroorganisme.

Tidaklah mengherankan bila mikroorganisme yang tersebar di alam kemudian “berbondong-bondong” menempati tanah rizosfir rumput dan menjadikannya sebagai habitat.

Sebenarnya, habitat Streptomyces bukan hanya rizosfir rumput, melainkan tanah secara umum yang banyak mengandung bahan organik. Bahan organik tanah merupakan sumber energi utama yang dibutuhkan untuk keperluan hidupnya. Tanpa bahan-bahan ini, seluruh aktivitas biokimia di dalam tanah akan berhenti.

Sekalipun mikroorganisme bisa hidup di tanah secara umum, peluang terbesar untuk mendapatkannya terdapat di tanah rizosfir. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya antibiotik yang dihasilkan dari berbagai spesies Streptomyces hasil isolasi asal tanah rizosfir. Bisa diduga, mikroorganisme banyak terdapat di rizosfir karena akar rumput-rumputan mengeluarkan eksudat yang mengandung bahan organik tersebut.

Hingga saat ini belum semua tanah rizosfir rumput diketahui mampu “menangkap” mikroorganisme penghasil antibiotik. Di antara yang sudah diketahui adalah tanah rizosfir rumput pahit (Axonopus compressus SWARTZ BEAUV) dan rumput jampang (Eleusine indica L GAERTN).

Di Indonesia, kedua jenis rumput itu penyebarannya luas sehingga mudah diperoleh. Selain itu, akarnya relatif rimbun sehingga memudahkan untuk mendapatkan massa akar yang diperlukan.

Penelitian terhadap tanah rizosfir kedua rumput antara lain dilakukan Henny Rachdiati dari Universitas Nusa Bangsa Bogor. Dari penelitiannya, Rachdiati menemukan hasil antara lain dalam tabel

Metode Agar Cakram Kertas (Paper Disc Method) merupakan salah satu cara untuk menguji kesanggupan antibakteri dalam membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme hidup. Pada penelitian tersebut yang dijadikan sebagai mikroorganisme uji adalah Bacillus subtilis (B subtilis), Staphylococcus aureus (S aureus), dan Eschericia coli (E coli).

Dari tabel terlihat bahwa diameter daerah hambat dari 19 isolat terhadap bakteri uji besarnya bervariasi, mulai 7,5 mm hingga 18 mm. Davis Stout mengemukakan bahwa ketentuan kekuatan antibiotik-antibakteri sebagai berikut: daerah hambatan 20 mm atau lebih berarti sangat kuat, daerah hambatan 10 mm-20 mm (kuat), daerah hambatan 5 mm – 10 mm (sedang), dan daerah hambatan 5 mm atau kurang (lemah).

Jika data pada tabel dikaitkan dengan ketentuan kekuatan antibiotik-antibakteri yang dikemukakan oleh Stout, tidak ada satu isolat pun yang memiliki kekuatan “sangat kuat”.

Namun, bukan berarti semua isolat tidak berpotensi mengingat setidaknya ada delapan isolat yang memiliki kekuatan antibiotik “kuat” (karena memiliki daerah hambatan 10 mm-20 mm), yaitu isolat-isolat: J1, J2, J3, J8, P1, P4, P7, dan P8.

Dari serangkaian uji lanjutan terhadap 8 isolat tersebut, Rachdiati mengidentifikasi bahwa ke-8 isolat tersebut genusnya sama, tetapi spesiesnya berbeda-beda. Namun sayang, penelitian tersebut tidak sampai mengidentifikasi nama genusnya, apalagi sampai ke nama-nama spesiesnya.

Kendati demikian, penelitian ini telah membuktikan bahwa rumput Indonesia yang keberadaannya sering tidak dikehendaki banyak orang ternyata memiliki potensi ekonomi luar biasa yang diharapkan bisa menghapus air mata si miskin saat harus menebus obat dan sekaligus mencegah galur resisten bakteri potagen.

Kelak, manusia mestinya bisa menanam rumput untuk memanen (mikroorganisme penghasil) antibiotik. Semoga lembaga-lembaga riset di Indonesia mampu melanjutkannya sehingga harga antibiotik dapat terjangkau dengan mudah bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.

DR HasIm DEA Dosen Biokimia dan Toksikologi FMIPA dan Pascasarjana IPB serta Direktur Eksekutif Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA-Watch)

Sumber : https://www.kompas.com/kompas-cetak/0311/03/inspirasi/663220.htm

19 thoughts on “Menanam Rumput, Memanen Antibiotik

  1. artikelnya keren!!! eh eh, kopi paste? yaaahhh, jadi ga bisa protes deh..
    ______________________________________________________________
    Trimakasih, saya keren ya? :mrgreen:
    Hehe, emang cuma copy paste sih..

    _______________________________________________
    eniwei,
    1.Streptomyces itu fungi.
    _______________________________________________
    Lho? Bukannya bakteri ya?
    _______________________________________________
    2.

    Aminoglikosida bekerja secara langsung pada ribosom bakteri dan akan menghambat sintesa protein sehingga mengganggu translasi pesan genetik bakteri tersebut.

    yang bener, “mengganggu translasi pesan genetik (lebih tepatnya pas inisiasi dari translasi) sehingga akan menghambat sintesa protein”. kebalik hubungan sebab akibatnya tuh.
    3. Waksman bukan Walksman, liat aja di tante wiki. 😀
    4.

    Tetapi, karena adanya resistensi kuman yang timbul akibat adanya mutan-mutan baru, maka sering mengakibatkan antibiotik tidak bisa digunakan sesuai dosis anjurannya. Antibiotik tidak efektif lagi dalam dosis anjurannya.

    hmmm, bukannya salah atau bener sih, tapi dijelaskan seperti ini aja deh:
    resistensi bisa timbul karena efek seleksi yang selalu ada pada setiap pengaplikasian antibiotik. bila pemakaian antibiotik tidak sebagaimana mestinya (tidak dihabiskan) sehingga masih menyisakan individu-individu mikroba yang secara alamiah lebih resisten (sehingga bertahan lebih lama dalam gempuran antibiotik) dari individu mikroba yang lain. tentu saja mikroba yang resisten ini akan mengisi relung yang ditinggalkan oleh mikroba yang tidak resisten.
    secara alamiah, resistensi ini sebenarnya sudah ada (ada spesimen E. coli yang di freeze-dried sejak 1946 diketahui memiliki resistensi terhadap tetrasiklin dan streptomisin, padahal keduanya baru digunakan secara klinis beberapa tahun kemudian (Madigan, 2006. p695)).
    5. hati-hati dengan penggunaan kata “kuman”, di Indonesia, penggunaan kata kuman masih rancu (masih ada orang yang menggunakan “kuman” untuk menyebut virus, padahal virus tidak mempan sama antibiotik)
    hufff, selesai juga ngetiknya (setelah dua kali laptop ngehang). semoga bermanfaat, hehehe…!!
    _______________________________________________
    Trimakasih atas koreksi dan masukannya 🙂

  2. artikelnya keren!!! eh eh, kopi paste? yaaahhh, jadi ga bisa protes deh..
    eniwei,
    1. Streptomyces itu fungi.
    2.

    Aminoglikosida bekerja secara langsung pada ribosom bakteri dan akan menghambat sintesa protein sehingga mengganggu translasi pesan genetik bakteri tersebut.

    yang bener, “mengganggu translasi pesan genetik (lebih tepatnya pas inisiasi dari translasi) sehingga akan menghambat sintesa protein”. kebalik hubungan sebab akibatnya tuh.
    3. Waksman bukan Walksman, liat aja di tante wiki 😀
    4.

    Tetapi, karena adanya resistensi kuman yang timbul akibat adanya mutan-mutan baru, maka sering mengakibatkan antibiotik tidak bisa digunakan sesuai dosis anjurannya. Antibiotik tidak efektif lagi dalam dosis anjurannya.

    hmmm, bukannya salah atau bener sih, tapi dijelaskan seperti ini aja deh:
    resistensi bisa timbul karena efek seleksi yang selalu ada pada setiap pengaplikasian antibiotik. bila pemakaian antibiotik tidak sebagaimana mestinya (tidak dihabiskan) sehingga masih menyisakan individu-individu mikroba yang secara alamiah lebih resisten (sehingga bertahan lebih lama dalam gempuran antibiotik) dari individu mikroba yang lain. tentu saja mikroba yang resisten ini akan mengisi relung yang ditinggalkan oleh mikroba yang tidak resisten.
    secara alamiah, resistensi ini sebenarnya sudah ada (ada spesimen E. coli yang di freeze-dried sejak 1946 diketahui memiliki resistensi terhadap tetrasiklin dan streptomisin, padahal keduanya baru digunakan secara klinis beberapa tahun kemudian (Madigan, 2006. p695)).
    5. hati-hati dengan penggunaan kata “kuman”, di Indonesia, penggunaan kata kuman masih rancu (masih ada orang yang menggunakan “kuman” untuk menyebut virus, padahal virus tidak mempan sama antibiotik)
    hufff, selesai juga ngetiknya (setelah dua kali laptop ngehang). semoga bermanfaat, hehehe…!! eh, ketelen akismet ya?
    _______________________________________________
    Iya, si aki laper. Jadi maen telen aja 🙂
    Oya, ttg Streptomyces, kayaknya ada di tante wiki juga 🙂

  3. Kesel!!! Ma lagi immunocompromised gini badannya,, kebayang aja,, makan clindamicin (yang merknya Clinex) 3X1 300mg (stdd ya,, 😆 )
    TiddaaK!!!!
    Rifu, bukannya bisa karena mutasi juga ya resistensinya?? eh kaya klorokuinon udah resisten skarang gara2 dikit dikit kasi itu,, dosisnya ga beres pula,, wajar aja,,
    artesunate lebih mahal ya??
    _______________________________________________
    signa ter de die 😛
    Dipatuhi aturan pakainya ya, Dok? 🙂

    Hmmm, tadi sama temen di kampus, ngebahas masalah ini juga.
    Iya ya, kayak dibilang omFu, cara pakainya tidak sesuai aturan, jadi mikrobanya bisa bermutasi, makanya resisten. Gitu kan?

  4. eh iya iya, Streptomyces itu bukan fungi. huhuhu, soalnya seinget gw, mikroba yang satu ini tuh filamentous/bikin miselium jadi asosiasinya langsung ke fungi gitu. ada sih yang bilang kalo aktinomiset (kelompoknya si Streptomyces) ini sebenernya adalah peralihan dari bakteri ke fungi.
    hmm, bisa juga sih, karena si mikroba kena mutagen apa gitu, trus kebetulan sifat genetik yang berubah itu mempengaruhi ketahanannya terhadap antibiotik. asal inget saja, antibiotik tidak menyebabkan mutasi. kecuali kalau memang antibiotik itu sendiri bersifat mutagen (eh, ada ga ya antibiotik yang bersifat mutagen?).
    _____________________________________________
    Adakah? Hmm, saya cari nanti, jadi menarik nih diskusi na 🙂 Trimakasih 🙂

  5. Pantas kambing selalu sehat lalu kemudian digorok untuk mengisi perut manusia
    ____________________________________________
    Wah..kalo itu beda kasus mas Farid. Tapi bener juga, kalo kambing makan daging, bisa2 kolesterolnya tinggi, trus jantungan dia *halah! Ngawur*

  6. I am sure that there are plenty of positives out there, but what have you seen for yourself? Are you becoming attached to my marvelous palace I have a nice joke. What do you get when you cross a squirrel with a kangaroo? An animal that keeps its nuts in its pockets.

  7. antibiotik yang di sini sama dengan antibiotik yang biasa dikasih dokter gak?

    suatu saat anak saya panas, saya bawa ke RS Hermina, abis diperiksa nanyak di kasir abisnya 200 rebu, dan setelah itu apa yang terjadi?? obatnya ndak boleh diminumin sama istri saya karena isinya antibiotik semua padahal dokternya waktu ditanya anak saya sakit apa ndak bisa njawab dengan pasti.

    istri saya bilang kalo dokternya ndak tau penyakit anak saya karna bakteri kenapa dengan pede-nya ngasih antibiotik?

    *kesel karena 200 ribu cuma buat ongkos nempelin stetoskop*

  8. obat biasanya bentuk sintesisnya mas, karena lebih murah tentu saja. Yang ada pada rumput adalah bakteri penghasil antibiotik tsb, dan golongan Streptomycess salah satu penghasil antibiotik yang banyak digunakan.

    wah, pasien berhak nanya lho ke dokter/apoteker ttg informasi obat dan sebenarnya pemberian obat dengan metode coba-coba seharusnya dihindari. tapi kulturnya memang begitu… teman saya juga pernah dirawat hampir seminggu di RS dengan diagnosa tidak jelas.

  9. jiyah… postingan lama toh :mrgreen:

    coba nonton Moyashimon, mbak 😉 (itu anime)
    di situ dijelasin bermacam-macam mikroba (kebanyakan yg buat bikin sake sih 😛 Aspergilus oryzae 🙂 )

    *numpang nyampah 😛 *

  10. menarik, saya pernah belajar mengenai antibiotik di mata kuliah saya fisiologi prokariot dan saya sangat tertarik untuk melakukan penelitian mengenai antibiotik, antibiotik pada akar rumput, menarik juga..

Leave a reply to Takodok! Cancel reply