Bagaimana Senyuman Anda Mempengaruhi Orang Lain

Judulnya terasa seperti tulisan motivasi ya? :mrgreen: Yah.. setidaknya bisa memotivasi anda untuk memikirkan lagi tingkah laku saat berinteraksi dengan manusia lain.

.

Sudah lima bulan saya bekerja di salah satu apotek franchise di kota asal. Memang masih terhitung baru, tapi sudah banyak kejadian lucu-cenderung-menjengkelkan sampai super-menjengkelkan-tidak-ada-lucunya-sama-sekali-dan-tawa-yang-timbul-adalah-tawa-frustasi.

Idealnya Sih Begini

Tiga bulan pertama adalah masa pelatihan, masa saya terkaget-kaget dengan tuntutan pelanggan, penyesuaian dengan rekan kerja, adaptasi waktu tidur dan pola makan. Pada minggu pertama saya sudah dikeluhkan oleh seorang bapak yang mengatakan, “Dia kurang ramah ya.” Padahal bukan saya yang melayaninya. Saya hanya berdiri di samping teman yang melayani beliau, memandang ke arah lain. Mungkin saat berada di depan pelanggan saya harus selalu tersenyum meski tanpa alasan. Oh well

Bulan pertama, ada keluhan lain dari pelanggan yang ternyata sejawat saya juga. Kesalahan memang ada di pihak kami, tetapi komunikasi yang kurang baik lah penyebab utamanya. Dari kejadian ini saya belajar untuk tidak bangga membabibuta pada profesi apalagi institusi tempat bernaung.

Bulan lalu, ada seorang ibu yang meminta pertanggungjawaban atas (katanya) kesalahan kami memberi obat. AH YANG MASAAAAAAAAAAAAA.. Saat si ibu datang, saya sedang libur tetapi menurutnya pihak kami salah memberikan obat ada di jam tanggungjawab saya. Otomatis penanggungjawab yang satu lagi menghubungi saya. Usut punya usut, lagi-lagi kesalahpahaman. Tidak ada tuntutan lanjutan hanya pesan “Agar kalian lebih berhati-hati ke depannya,” kata si ibu.

Terus terang saya merasa tidak melakukan kesalahan karena sudah bekerja sesuai SOP, berhati-hati, dan obat bisa sampai “salah” adalah kekhilafan pelanggan sendiri. Cerita lebih detail akan panjang dan cukup membingungkan. Tapi mau bagaimana lagi? Pelanggan yang salah adalah pelanggan yang benar dari sudut pandang lain, yaitu mereka pelanggan, raja. Hanya senyuman dan permintaan maaf lah yang bisa kami berikan. Lagipula fokus mencari siapa yang salah hanya menguras energi, lebih baik berusaha memperbaiki keadaan. YA KAAAAAANNNN?? Oh well

RAJA

Jika diteruskan, banyak keluh kesah terkait pekerjaan. Apalagi pada dasarnya saya punya falsafah; I love people, I just don’t like being around them. Maka pertentangan sifat pribadi dengan tuntutan pekerjaan membuat saya begitu letih saat berada di rumah. Sedikit banyak keluarga terkena imbasnya. Adik lebih sering saya omeli, bahkan tamu pun kadang saya jutekin. Oh well

.

Pelanggan menyenangkan bukannya tak ada. Kemarin load kerja cukup bertubi-tubi. Lalu masuklah sebuah resep. Sayangnya salah satu obat di resep tidak kami punyai. Saya pun keluar ke ruang pasien untuk mengkonfirmasikannya. Ternyata si pemilik resep adalah seorang bapak paruh baya yang sedari namanya saya panggil sudah melemparkan senyum ke arah saya. Senyuman itu pun menular dan hati ini rasanya maknyesss.. Ruwetnya pikiran terasa sedikit berkurang.

.

Komunikasi terjadi dua arah. Jika satu pihak sudah menawarkan keramahan tapi ditepis oleh pihak seberang, kewajiban pihak penjual jasa untuk tetap berada di standar keramahan. Namun saat keramahan bergayung sambut dengan pihak pelanggan, duh.. it’s like heaven on earth. Ndak lebay lho ini.

Kita baru bisa benar-benar memahami sesuatu jika sudah mengalaminya sendiri, walaupun ada yang bernama common sense. Dari dulu saya sudah berusaha mengucapkan terimakasih setelah selesai berbelanja kepada kasir, saat dibantu mencari rak barang yang saya butuhkan, saat dibukakan pintu oleh petugas keamanan di bank, atau kapanpun saya sudah ditolong oleh orang lain meski itu sudah tugas mereka. Setelah bekerja di bidang pelayanan, saya belajar untuk lebih menghargai orang lain sebagai manusia, bukan hanya sebagai pekerja yang menjalankan tugas mereka.

Saya tidak bisa menawarkan keramahan berlebihan. Muka saya sudah default-nya jutek. Dan saya punya ego-kesombongan pribadi yang cukup tinggi. Lantas, kenapa masih mau bekerja di bidang pelayanan meski kadang diperlakukan bak keset kaki oleh the-so-called-orang-partai-yang-sekarang-jadi-pejabat-kabupaten? Uang (maaannn… i have to feed myself and buy some books! ๐Ÿ˜‰ ), pandangan masyarakat (“Percuma sekolah tinggi-tinggi kalo cuma di rumah aja,” yang biasanya membuat saya membatin “Iya deh tante anaknya deh yang paling hebat sedunia. Kuping ini tak tebal, kawan! ๐Ÿ™„ ), dan achievement berupa senyuman ramah dan ucapan terimakasih tulus dari pelanggan yang konsultasi mengatasi “sekedar” sakit gigi, wasir, atau bisulan. Yang “sekedar” itulah angin surga penyambung nafas saya.

Suatu saat, saraf saya yang makin getas ini akan sampai pada batasnya. Atau saya hanya akan terbiasa. Semoga terbiasa ramah baik hati tidak sombong pada ibu peri, sih. ๐Ÿ˜‰

10 thoughts on “Bagaimana Senyuman Anda Mempengaruhi Orang Lain

  1. capek ya des? ๐Ÿ˜† buat orang2 kayak kita yang jangankan suruh bermanis2 sama orang, buat deket2 aja males itu ya kerjaan macem gitu yang penuh tantangan. entah ya aku kalo jadi kamu apa bisa bertahan selama itu.
    mungkin seperti yang sering kubaca di notalwaysright.com, kerja di bidang pelayanan publik nantinya (iya, masih nanti-nanti) bisa bikin efek positif yang cukup dramatis buat attitude kita ke orang lain.
    semangat destiiiiii

  2. Setelah bekerja di bidang pelayanan, saya belajar untuk lebih menghargai orang lain sebagai manusia, bukan hanya sebagai pekerja yang menjalankan tugas mereka.

    Sama mbak, setelah saya jadi penjaga toko deket kampus dua tahun lalu, saya juga makin sadar bahwa pelayan juga manusia. Harus dihargai juga, apalagi mereka yang sudah bekerja keras. Pelanggan adalah raja, tapi raja yang bijak selalu dekat dengan rakyatnya, ‘kan? Hehe.

    Semangat mbak!

  3. I feel you banget, Des. Karena aku juga kan kerjanya di bank yang tuntutannya adalah harus selalu ramah ke nasabah. Kalau aku disuruh ke depan jadi frontliner menggantikan temanku yang sedang tidak masuk, aku selalu berdoa semoga nasabahku nanti orangnya ramah semua. Gak selalu dapat ramah sih, tapi ya… tidak ada salahnya berdoa kan? ๐Ÿ˜€

  4. untungnya walaupun sama2 kerja di bidang pelayanan, tapi saya berinteraksinya via telp dan email jadi yang namanya senyum itu nggak mandatory dan kebetulan user2nya nggak ngeh sama sarkasme yang jadinya mereka malah seneng (win win solution lah, saya bisa melampiaskan emosi dan mereka justru hepi merasa dipuji hehe)

  5. Mbak des oh mbak des. I do feel you so. Tapi aku lewat telpon dan email sih. Jadi nggak ketauan deh kalo abis (ceritanya) ketawa dan bilang makasih dengan (ceritanya) manis, aku suka banting telepon atau tertunduk di meja karena capek ngomong =))

    Walaupun lewat telfon kalo yang di sana nyolot bin ajaib astaga pengen makan sushinya pak doktel rasanya. Makanya paling enak kalo telpon ke pihak yang kami bayar mereka. Bisa marah-marah sesuka hati. Ngahahaha

Leave a reply to Ahmad Alkadri Cancel reply