Suvenir Cuma-Cuma

Yang namanya suvenir biasanya cuma-cuma alias gratis. Dan manusia bumi biasanya cinta gratisan, walau sekian persen biasanya curiga dengan kemungkinan timbal balik di masa mendatang. Beberapa malah lebih ekstrim, merasa terhina diberi gratisan.

“Tidak ada yang gratis di muka bumi ini. Air saja bayar! Padahal 2/3 dari bumi adalah air.”

Iya, mas. Asin tapi. Pliket. Situ aja yang minum ya?

Mari kita terima saja kenyataan bahwa kita; kamu dan (terutama) saya pada dasarnya cinta suka gratisan.

.

Sejak bulan lalu satu-satunya toko buku besar di kota saya mengadakan program min. belanja 150rb dapat suvenir berupa bundelan buku. Biasanya sih yang dibundel adalah tutorial program komputer, buku pengembangan diri, komik lama yang sepertinya susah dijual. Saya sempat mencibir berpikir hanya buku jelek tidak laku saja yang dijadikan suvenir.

Lalu saya kualat.

Dua minggu lalu saya menemukan buku Eating Animals-nya Jonathan Safran Foer dijadikan suvenir. Hati ini njless rasanya. Cukup saya sebal melihat buku yang dulu diincar sampai rela menabung uang satu minggu dibanderol seharga 20rb saja. Eeehh.. sekarang malah dijadikan gratisan!

Apa selera saya terlalu aneh? Buku favorit saya kok diginiin?

.

Perasaan sebal itu hanya muncul sebentar. Saya tau, saya bisa menggeser pola pandang agar sebal tsb tak berlarut-larut. Buat apa? Toh kalo ada yang menarik manfaat dari buku-favorit-yang-dijadikan-gratisan bukannya malah bagus? Gratis dan bagus. BAGUS dan GRATIS.

Hih!

.

Toh kalo dulu saya menunda membeli (buku tsb), belum tentu juga ia akan turun harga.

Toh kalo saya dapatkan (buku) dengan harga murah, belum tentu saya akan senang (membacanya). Belum tentu sesuai selera.

Toh saya membayar nilai yang pantas bagi saya pada saat itu.

Makanya saya kurang suka membandingkan harga barang yang saya beli. Saya tidak gila belanja. Saya beli yang saya mau dan hanya bila saya mampu untuk itu. Jadi buat apa saya sebal berlarut bila yang saya beli mengalami penyusutan nilai ekonomis?

..and that goes for everything in life.

10 thoughts on “Suvenir Cuma-Cuma

  1. same here, saya juga nggak suka membanding2kan harga barang yang sudah dibeli, terutama elektronik yang dalam beberapa bulan saja harganya sudah anjok jauh ๐Ÿ˜›

    soal gratisan sih tentu saja saya suka, tapi jika memang semua kondisinya sudah terpenuhi. jadi gratisan bersyarat macam belanja 50rb dapet piring, jika total belanjaan saat itu 35rb sih saya nggak akan berusaha nambah 15rb lagi cuma buat dapetin gratisan piring ๐Ÿ˜€

    • nah itu.. Gratis aja sebenarnya bersyarat ya.
      jebakan betmen itu, apalagi di toko baju M, yang pake iming-iming potongan harga 50rb untuk produk berlabel biru dengan harga min.150rb *sampe hapal ToS-nya ๐Ÿ˜†

      • belajar dari orang rumah yang koleksi panci presto, set gelas kristal, blender serbaguna dengan alasan lagi diskon, bonus beli sesuatu,dan aneka alasan lainnya sampe selemari dan cuma kepake bbrp kali setahun…… saya bisa dibilang cukup kebal sama yang kaya gitu, entah sudah berapa banyak promo gadget, diskon akhir tahun, steam sale dan sejenisnya yang menggoda tapi nggak dibeli :p

  2. Biasanya sih yang dibundel adalah tutorial program komputer, buku pengembangan diri, komik lama yang sepertinya susah dijual. Saya sempat mencibir berpikir hanya buku jelek tidak laku saja yang dijadikan suvenir.

    jangankan yang dibundle gratis. yang dikorting aja biasanya juga buku begituan.
    tiap kali di gramed matraman ada space khusus buat buku diskon, saya masuk secepat saya keluar karena isinya yaa… begituan

    Semoga saya kualat dengan nemu buku kortingan yang memang saya incer dan sudah ilang dari muka rak-rak toko buku di bumi macam LOTR

    LOL

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s